Jokowarino.com Tempat Berbagi Informasi Mengenai Pertanian Indonesia - Setidaknya dlm forum pertemuan para pejabat senior APEC 2013 di Surabaya 7-19 April tahun lalu, telah mencanangkan beberapa isu prioritas yang mencakup antara lain:
1. Pembangunan serta investasi infrastruktur
2. Program pemberdayaan cewe dalam perekonomian
3. Peningkatan daya saing UKM (Usaha Kecil dan Menengah)
4. Perluasan akses kesehatan
5. Promosi kerja sama pendidikan lintas negara
6. Rencana kerangka konektivitas di Asia Pasifik yg akan memberikan kemudahan bagi warga Indonesia serta masyarakat Asia Pasifik utk berpergian serta melangsungkan perdagangan.
Pertanian Indonesia
Dari enam agenda yg secara eksplisit sudah disampaikan oleh Yuri O Thamrin, Ketua Sidang Pejabat Senior APEC 2013 yang juga menjabat Direktur Jenderal Asia-Pasifik dan Afrika, Kementerian Luar Negeri, kiranya telah cukup jelas secara konseptual.
Namun dari penilaian Global Future Institute, terkesan agenda-agenda strategis tersebut ngga ditempatkan dlm kerangka strategi kebijakan luar negeri dan sudut pandang geopolitik untuk memberdayakan posisi tawar Indonesia dalam menghadapi kepentingan-kepentingan strategis korporasi-korporasi global asing, terutama Amerika dan Uni Eropa.
Sehingga dikhawatirkan Indonesia justru akn masuk dlm perangkap skema dan strategi kebijakan kapitalisme global di Washington & Uni Eropa yg tergabung dalam G-7.
Maka sebagai latarbelakang serta pemetaan masalah sebelum kita sampai pada perumusan agenda-agenda strategisnya, ada baiknya para pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan kebijakan strategis pada KTT APEC mendatang utk mendalami terlebih dahulu kondisi obyektif yang berkembag di tanah air saat ini.
Mari kami simak kondisi obyektif di sektor pertanian, sekadar sebagai contoh.
Rapuhnya Kedaulatan Sektor Pertanian serta Pangan Indonesia
Pertama, saat ini Indonesia yang merupakan negara agraris & menjadi lumbung hortikultura (sayur, buah-buahan & bunga), namun anehnya malah mengalami kelangkaan. Masalah kelangkaan & tingginya harga produk-produk hortikultura sesungguhnya ngga perlu terjadi di Indonesia.
Sebagai negara yang memiliki dua musim sebenarnya potensi Indonesia sebagai penghasil produk-produk unggulan hortikultura hampir saja gak mempunyai pesaing. Artinya bahwa potensi Indonesia sungguh besar, yatu mempunyai kekayaan sumberdaya komoditas pertanian yang tinggi & ketersediaan lahan pertanian yang lebih luas. Variasi topografi dan model demografi untuk menghasilkan produk yg bervariasi juga terbuka luas.
Kedua, dengan merujuk pada pendapat Sabiq Carebesth, Pemerhati masalah Ekonomi Politik Pangan Jurnal Sosial Agraria Agricola, dlm sebuah sistem, kegiatan kerja bertani tdk lagi semata-mata dilihat sebagai sebuah kebudayaan bercocok tanam, melainkan bisnis. Bisnis lalu menyangkut politik berupa lobi-lobi, patgulipat, kongkalikong, aturan pun diselenggarakan; siapa yang berhak memproduksi, mengedarkan, serta siapa yg masuk dlm perencanaan sebagai sasaran pemakai sekaligus disebut korban. Pengedarnya ialah pebisnis, yaitu mereka yg punya naluri, tenaga & modal utk menjadikan benih sebagai sumber keuntungan.
Keuntungan tersebut lalu diakumulasi. Akumulasi keuntungan tersebut lalu terkonsentrasi cuma di tangan segelintir para pebisnis yg menciptakan sistem monopoli. Monopoli lalu menjadikan sistem perbenihan & pertanian khususnya membangun oligopoli, Lantas siapa target sasaran bisnisnya yang setelah itu jadi korban? Yg jadi korban merupakan para Petani kecil yg pada dasarnya masuk golongan ekonomi lemah & kecil.
Merekalah target dari eksploitasi sistematis pemiskinan yang akn berlangsung pelan-pelan melalui politik ketergantungan. Mula-mula benih, lama-lama pestisidanya, lalu yg paling parah merupakan sistem bercocok tanamnya, lalu corak bermasyarakatnya.
Maka, monopoli ngga terhindarkan, kartel menerapkan paham stelsel. Kartel domestik pada industri benih di dalam negeri telah diduga dilakukan World Economic Forum Partnership on Indonesian Sustainable Agriculture (WEFPISA) yg beranggotakan perusahaan-perusahaan multinasional yang telah lama mengincar pasar benih dan pangan di Indonesia.
Kartel Pangan
Sementara itu, masih menurut Sabiq Carebesth, kartel internasional dan nasional pada sektor pangan diduga mengendalikan harga, stok, serta pasokan komoditas pangan utama di dlm negeri. Di pasar internasional, setidaknya terdapat 12 perusahaan multinasional yg diduga terlibat kartel serealia, agrokimia, & bibit tanaman pangan. Di dalam negeri ada 11 perusahaan & enam pengusaha yg ditengarai menjalankan kartel kedelai, pakan unggas, serta gula.
Negara sebagai sebuah institusi pelindung rakyat akhirnya hrs berhadap-hadapan dgn organisasi perdagangan yg memang berorientasi mengakumulasi keuntungan. Tak pelak keanggotaan Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sudah membuka jalan bagi perusahaan multinasional memonopoli usaha perbenihan & pangan.
Komite Ekonomi Nasional (KEN) contohnya menyebutkan di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yg disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, serta Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90 persen pangsa perdagangan serealia (biji-bijian) dunia. Struktur pasar komoditas pangan juga memiliki kecenderungan oligopolistik.
Dalam industri agrokimia global juga terdapat enam perusahaan multinasional, yaitu Dupont, Monsanto, Syngenta, Dow, Bayer, dan BASF yg menguasai 75 persen pangsa pasar global. Dlm industri bibit terdapat empat perusahaan multinasional, yakni Monsanto, Dupont, Syngenta, serta Limagrain, dengan penguasaan 50 persen perdagangan bibit global.
Pada sektor pangan, kartel juga terjadi pada industri pangan & impor. Indikasinya, satu per satu perusahaan makanan domestik diakuisisi perusahaan asing. Misalnya, Aqua diakuisisi Danone (Prancis), ABC diakuisisi Unilever (Inggris), & Kecap Bango dikuasai Heinz (Amerika). Sementara itu, tren contohnya pada impor daging mayoritas rupanya dari Australia, bawang putih dari Tiongkok, dan bawang merah dari Filipina.
Belum lagi apa yg disampaikan oleh pengamat ekonomi pertanian UGM, Prof. Dr. Moch. Maksum Machfoedz, dmn sembilan komoditas pangan nasional hampir semuanya impor. Disebutkan bahwa komoditas gandum & terigu masih impor 100%, bawang putih 90%, susu 70%, daging sapi 36%, bibit ayam ras 100%, kedelai 65%, gula 40%, jagung 10%, & garam 70%.
Sementara informasi yg disampaian Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan, mengulas produksi & distribusi sayuran seperti tomat, cabai, seledri dan bawang di kawasan Garut & Lembang juga telah dikuasai oleh Indofood Frito Lay, Heinz ABC, & Del Monte. Sedangkan produksi & distribusi kacang-kacangan, jagung, dan serelia di kawasan Bandung Timur, Subang, serta Purwakarta dikuasai oleh Cargill dan Charoen Pokphand.
Bidang saprotan, jg tidak lepas dari dominasi perusahaan asing dengan beroperasinya Ciba Geigy dari Jepang, BASF dan Bayer dari Jerman, serta Novartis dari Amerika Serikat yang menguasai jalur distribusi pestisida.Hal serupa jg terjadi di bidang pembenihan dgn kehadiran Monsanto yg mengembangkan bibit jagung dan kedelai, dan beberapa perusahaan Jepang utk bibit sayuran.
Hal tersebut kemudian berdampak langsung pada maraknya kriminalisasi & hilangnya kedaulatan petani dalam mengelola sumber pangan nasional, target swasembada pangan berkala pada 2014 akn jadi isapan jempol belaka. Ngga pelak, Indonesia terperangkap dalam liberalisasi perdagangan yang mengakibatkan Indonesia dibanjiri produk pangan & manufaktur impor.
Amerika Serikat Tekan Indonesia Agar Cabut Pembatasan Impor Holtikultura
Masih soal holtikultura, satu lagi kenyataan obyektif yang kiranya Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perekonomian perlu mencermati secara seksama. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia akhirnya mengalah menyikapi laporan Pemerintah Amerika Serikat ke Badan Perdagangan Dunia (WTO), atas peraturan impor hortikultura dgn mengerjakan pelarangan & pembatasan buah dan sayuran. Karenanya, Pemerintah akan melakukan revisi Permentan nomor 60 Tahun 2012 tentang rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH).
Hal ini terkait dgn langkah Indonesia memberlakukan Permentan No. 60 tahun 20012 tentang pembatasan impor Holtikultura (sayur dan buah), sehingga AS) gencar memprotes aturan tersebut. Bahkan Indonesia diadukan ke WTO. Setelah melakukan pertemuan antara perwakilan AS dan Indonesia di Jenewa beberapa waktu lalu akhirnya pemerintah indonesia berencana merevisi aturan tersebut.
Pemerintah mengeluarkan aturan Permentan 60 Tahun 2012 serta Permendang Nomor 60 Tahun 2012 terkait pengaturan importasi 20 komoditas hortikultura.
Aturan tersebut dikeluarkan karna dianggap produksi dlm negeri masih mencukupi sehingga pemerintah melarang 13 komoditas hortikultura masuk ke Indonesia dlm jangka waktu tertentu, diantaranya durian, nanas, melon, pisag, mangga, pepaya, kentang, kubis, wortel, cabe, krisan, anggrek & heliconia.
Sementara 7 komoditas hotrikultura yg dibatasi jml impornya di antaranya Bawang yg diterdiri dari bawang bombay, bawang merah serta bawang putih, kemudian Jeruk yang terdiri dari jeruk siam, jeruk mandarin, lemon, serta grapefruit atau pamelo, anggur, apel dan lengkeng.
Dari 300 Komoditas hanya 90 hingga 92 komoditas yang diperdagangkan. Dari total itu 20 komoditas yang diatur dalam Permentan nomor 60 Tahun 2012. Dari 20 komoditas tersebut 7 komoditas hortikultura yang dibatasi jumlah kuota impornya.
Dari gambaran tersebut di atas, pemerintah Indonesia telah seharusnya menyadari adanya sisi rawan dari kedaulatan kita di sektor pertanian dan sektor pangan, akibat kuatnya pengaruh dan tekanan korporasi-korporasi asing dlm pembuatan kebijakan strategis di sektor pertanian dan pangan.
Dan yg yang mengecewakan kita dari Global Future Institute, pemberdayaan sektor pertanian serta pangan sama sekali tak dimasukkan sebagai salah satu isu prioritas sebagaimana disampaikan oleh Yuli O Thamrin pada Sidang Pertemuan Pejabat Senior APEC di Surabaya April lalu.
Padahal, berdasarkan data kementerian Pertanian menunjukan perkembangan impor buah dan sayur mengalami perkembangan yg sangat drastis. Pada tahun 2008, nilai impor produk hortikultura mencapai 881,6 juta dollar AS, tapi pada 2011 nilai impor produk hortikultura telah mencapai 1.7 miliar dollar AS (dengan kurs Rp. 9.500, sekitar Rp 16,15 triliun).
Komoditas hortikultura yg di impornya paling tinggi adalah bawang putih senilai 242,4 juta dollar AS (sekitar Rp. 2,3 triliun), buah apel sebanyak 153,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,46 triliun), jeruk 150,3 juta dollar AS (sekitar Rp. 1,43 triliun) dan anggur sebanyak 99,8 juta dollar AS (sekitar Rp. 943 miliar).
Karena itu kami kiranya cukup beralasan dengan membanjirnya produk holtikultura impor. Seakan produk holtikultura tak mampu bersaing, padahal kita sangat mampu bersaing di tingkat internasional.
Padahal pada kenyataannya, Komoditas hortikultura lokal selama ini telah memberikan pendapatan yang besar bagi negara, Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura terus meningkat dari tahun ke tahun. Angka PDB hortikultura tahun 2005 sebesar Rp 61.729 miliar meningkat menjadi Rp 88.334 miliar pada tahun 2010. Dengan PDB paling besar di sumbang dari komoditas buah, disusul sayuran, hias & tanaman obat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Maka penyebabnya merupakan besarnya pengaruh skema kapitalisme global lewat beberapa korporasi asing, sehingga holtikultra produk import bisa merajalela di Indonesia.
Pada tataran ini, Indonesia dalam KTT APEC 2013 hrs punya kontra skema untuk mematahkan monopoli kartel-kartel asing tersebut. Sehingga agenda-agenda strategis Indonesia pada KTT APEC 2013 mendatang benar-benar membumi.
Kontra Skema Indonesia dalam KTT APEC 2013 hrs didasari gagasan utk mengerjakan proteksi terhadap kelompok-kelompok ekonomi menengah & kecil. Pada tingkatan ini, merumuskan perlunya peningkatan daya saing UKM dimasukkan dlm salah satu isu prioritas kiranya sudah berada di jalan yang tepat. Cuma saja blm tergambar secara jelas strategi pemerintah Indonesia dalam menjabarkan isu tersebut pada KTT APEC 2013 mendatang.
Dalam hal kedaulatan atau kemandirian pangan, misalnya, hrs didasari untuk melindungi kepentingan para petani. Program kemandirian pangan berarti juga harus diikuti dengan diberlakukannya kebijakan melarang pemberlakuan bebas bea masuk pangan impor. Sehingga skema kedaulatan ekonomi serta khususnya pangan, akan mampu membendung gempuran produk-produk impor dari luar negeri terhadap produk dalam negeri.
Dalam hal memberlakukan kebijakan proteksi terhadap pertanian dalam negeri, ada baiknya mencontoh Cina dan Rusia. Bagaimana kedua negara itu ketika memberlakukan kebijakan pertanian pro rakyat dlm bidang unggas misalnya, pakan pun diproteksi, bahkan diberikan secara gratis, utk melindungi para petaninya.
Dengan mengambil inspirasi dari Cina maupun dari Rusia, yg kebetulan saat ini menjadi menjadi Ketua APEC menyusul KTT APEC di Vladivostok tahun lalu, telah saatnya pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan pangan yg pro pertanian. Dengan memberikan perlindungan terhadap petani mulai dari biaya jual, bibit, pakan, bahkan sampai kebijakan agro industry yang melindungi petani.
Apalagi diperkuat oleh beragam fakta yang disampaikan beberapa pakar bahwa pangan lokal ternyata memiliki potensi lebih baik daripada bahan impor lantaran kesesuaian biologis yg lebih tinggi dengan manusia & mikrobiota lokal Indonesia.
Saatnya pemerintah mesti tegas serta konsisten dengan target pencapaian kedaulatan pangan. Jangan kepingin diatur-atur oleh para importir. Dalam fluktuasi harga pangan, sudah beberapa kali pemerintah dipermainkan oleh kelompok tertentu karna Indonesia tdk mandiri dalam hal pangan. Pola yang sama digunakan para importir saat terjadi kelangkaan kedelai beberapa waktu lalu.
No comments:
Post a Comment